
Fenomena hari tanpa bayangan atau yang dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “ tumbuk ” kembali terjadi hari ini dan diamati secara langsung oleh tim pengamat di Balai Rukyat Ibnu Syatir Pondok Pesantren Al-Islam Joresan, Ponorogo. Peristiwa ini bukan hanya menarik secara astronomis, tetapi juga sarat makna dalam pandangan budaya Nusantara.
Secara ilmiah, menurut Penanggung jawab Observatorium Ibnu Syatir Al Islam Joresan Ahmad Junaidi bahwa hari tanpa bayangan terjadi ketika matahari berada tepat di atas kepala (zenit) pada saat tengah hari. Pada posisi tersebut, sinar matahari jatuh tegak lurus ke permukaan bumi, sehingga semua benda tegak termasuk tiang, tongkat, dan bahkan tubuh manusia tidak menimbulkan bayangan sama sekali. Fenomena ini hanya terjadi dua kali setahun di setiap lokasi yang terletak di antara garis balik utara ( Tropic of Cancer ) dan garis balik selatan ( Tropic of Capricorn ).
Tambah Doktor Ahmad Junaidi, bagi wilayah Ponorogo yang berada di sekitar lintang 7° 52’ LS, peristiwa ini biasanya terjadi pada sekitar tanggal 2 Maret dan 13 Oktober setiap tahunnya. Balai Rukyat Ibnu Syatir yang menjadi pusat edukasi dan penelitian falakiyah di lingkungan pesantren Joresan memanfaatkan momentum ini untuk observasi posisi Matahari dan kalibrasi alat rukyat seperti teodolit dan gnomon.
“Hari tanpa bayangan menjadi laboratorium alam terbaik bagi santri untuk memahami konsep ketinggian Matahari dan posisi zenit. Ini bagian dari pendidikan falak terapan yang kami kembangkan,” ujar salah satu pembina observatorium.
Dari hasil pengamatan hari ini Senin, 13 Oktober 2025 posisi Matahari mencapai deklinasi -7° 52’, yang berimpit dengan lintang geografis Ponorogo. Pengamatan dilakukan mulai pukul 11.10 hingga 11:30 WIB, dan tepat pada pukul 11:20 WIB bayangan gnomon benar-benar menghilang sejenak sebelum kemudian muncul kembali ke arah timur, Tambah Doktor Ilmu Falak ini menegaskan.

Dalam konteks antropologi astronomi, masyarakat Jawa mengenal peristiwa ini sebagai “tumbuk”, yaitu saat ketika Matahari bertemu tepat di atas kepala manusia. Fenomena ini kerap dihubungkan dengan tanda-tanda perubahan musim atau transisi pranata mangsa, terutama menjelang masa hujan. Dalam tradisi agraris, tumbuk dianggap sebagai saat yang baik untuk memulai pembersihan lahan dan penataan sawah menjelang musim tanam.
Keterpaduan antara sains dan budaya inilah yang menjadi ciri khas observasi di Balai Rukyat Ibnu Syatir. Selain sebagai pusat rukyat dan hisab kalender Islam, balai ini juga menjadi wadah pelestarian kearifan lokal yang menautkan pengamatan langit dengan siklus kehidupan masyarakat Ponorogo.
“Santri belajar bahwa astronomi bukan sekadar hitungan matematis, tetapi juga bagian dari kebudayaan dan spiritualitas manusia dalam memahami tanda-tanda alam termasuk salah satunya adalah fenomena Tumbuk atau hari tanpa bayangan,” tambah Imron Ahmadi sebagai kepala MA Al Islam Joresan.


Fenomena hari tanpa bayangan memang hanya berlangsung beberapa menit, namun nilai edukatif dan filosofisnya sangat panjang. Ia menjadi pengingat bahwa bumi selalu bergerak, waktu selalu berubah, dan manusia selalu berada dalam keteraturan kosmik ciptaan Allah.
Seperti diketahui, di MA Al Islam Joresan menjadikan mata pelajaran Ilmu Falak sebagai mata pelajaran unggulan yang mungkin masih jarang ditemukan di lembaga lain. Karena ilmu Falak sangat penting bagi umat untuk memantapkan waktu yang tepat untuk Sholat maupun ibadah lainnya.
Leave a Reply