Awal Ramadhan 14445 H tahun ini ada perbedaan dalam mengawalinya. Ada sebagian Ormas yang memulai pada tanggal 11 Maret 2024 , ada sebagian yang lain dan pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia menyatakan dalam sidang isbatnya bahwa Ramadhan 1445 H dimulai pada tanggal 12 Maret 2024.
Perbedaan awal Ramadhan ini tidak hanya tahun ini, tapi sudah terjadi beberapa di Indonesia. Oleh karena itu penulis ingin mencoba menengok lebih jauh tentang dasar hukum dalam penentuan Awal bulan terutama bulan Ramadhan dan Syawwal karena dalam dua bulan tersebut ada ibadah mahdhoh yang harus dilaksanakan oleh umat Islam.
Seperti yang kita saksikan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menyaksikan hilal Ramadhan tidaklah langsung begitu saja berpuasa atau mengajak golongannya untuk berpuasa. Mereka yang menyaksikan hilal tetap melaporkan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kita dapat melihat contoh ajaran Rasulullah dari dua hadits berikut ini.
- Hadits pertama:
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 2342. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim).
Lihatlah seandaianya Ibnu ‘Umar mau, ia tentu saja bisa mengajakan massanya untuk berpuasa keesokan hari. Namun ia masih melaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena memang yang punya kewenangan untuk memutuskan adalah beliau selaku pemerintah. Jadi para sahabat radhiyallahu ‘anhum masih menunggu keputusan Rasul tidak berinisiatif untuk memulai puasa seorang diri.
- Hadits yang kedua:
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا”
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang Arab Badui pernah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun berkata, “Aku telah melihat hilal.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Iya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?”, Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kembali bertanya. Ia pun menjawab, “Iya.” Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun memerintah, “Suruhlah manusia wahai Bilal agar mereka besok berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 691 dan Ibnu Majah no. 1652. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata bahwa Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menshahihkannya, namun An Nasai lebih cenderung pada pendapat bahwa riwayat tersebut mursal).
Sama halnya dengan Arab Badui, ia tidak mengajak dahulu massanya untuk memulai puasa. Ia tetap melaporkan hasil penglihatannya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau selaku pemerintah kala itu.
Dari kedua hadits diatas kita dapat menarik kesimpulan mengikuti Ormas dalam berpuasa atau berhari raya tidak sesuai dengan petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salafush sholeh. Lebih-lebih kelirunya jika hanya memakai hisab sebagai dasar penetapan. Kalau hisab sebagai hitungan perkiraan itu wajar-wajar saja. Yang kebablasan jika hasil hisab dijadika dasar penetapan untuk penentuan awal bulan tanpa ada ralat, juga enggan mau merujuk pada rukyatul hilal (visibilitas hilal). Padahal penglihatan pada awal bulan itulah yang termasuk ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Terlebih lagi, jika kita melihat hadits Nabi yang lain Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).”
Dari hadits diatas sangat jelas bahwa Rasulullah sendiri yang katakan, beliau tidak mengenal hisab padahal hisab sebenarnya sudah ada di zaman beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” HR. Bukhari.
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan, “Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan hisab itu tidak dipakai. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini.”
Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Golongan (yang berpegang pada hisab sebagai rujukan utama dalam penentuan awal bulan, pen) adalah madzhab yang keliru. Sungguh syariat Islam telah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (zhon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit” (Lihat Fathul Bari, 4: 127).
Namun sekarang yang terjadi, walau diterangkan dengan dalil seperti di atas, tetap saja hisab dijadikan sebagai akidah atau pendapat paten sehingga jika ada yang mengkritik pun tidak teranggap. Jadinya sekarang ini yang ada dikedepankan fanatik buta, bukan mengedepankan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Kalau ada dalil, itu pun diotak-atik biar sesuai dengan madzhabnya. Bukankah kita diperintahkan untuk mengikuti ajaran rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini shahih)
Kebersamaan tentu saja lebih menyenangkan daripada berselisih. Itulah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan dalam berpuasa dan berhari raya,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” HR. Tirmidzi.
Sebagian ulama menafsirkan hadits tersebut bahwa yang dimaksudkan adalah berpuasa dan berhari raya dengan al jama’ah (pemerintah) dan kaum muslimin.
Apalagi pemerintah sudah menempuh jalan yang benar dengan menjadikan patokan pada rukyatul hilal, hisab hanyalah jadi perkiraan saja. Dari sini saja, pemerintah lebih baik diikuti karena mereka mengikuti dalil. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar di atas.Wallohu A’lam.
Leave a Reply